Senin, 19 Desember 2011

Bersamamu di hatiku


Awal kelas satu SMP adalah masa percobaan bagi masa remajaku, bagaimana tidak?, baru kali ini aku mengikuti apa itu yang namanya masa orientasi siswa. Sekolahku satu yayasan dengan kakakku, di yayasan bunda harapan ini tedapat sekolah mulai jenjang kanak-kanak hingga SMA. Tapi aku masuk dalam yayasan ini mulai SMP, saat SD aku bersekolah di sekolahan yang lebih dekat dengan rumahku. Aku masih tidak tahu tentang seluk beluk MOS yang di mainkan peranannya oleh kakak-kakak kelas. Aku berusaha jujur saat MOS agar tidak terkena hukuman, eh..aku malah di hukum gara-gara satu atributku tertinggal di rumah. Aku di hukum berlari memutari lapangan yang besarnya dua kali lapangan sepak bola dengan berputar 3 kali, lapangan sekolah itu memanjang mulai depan kelas VII A sampai depan kelas XII IPS 2. Ku atur nafasku agar nanti tidak terlalu payah, baru ¾ lapangan pada putaran pertama aku sudah ngos-ngosan, ku pegangi kedua lututku, kepalaku pening. Hampir saja kepalaku menyentuh lantai lapangan, seseorang tiba-tiba menangkapku. Semua tiba-tiba berubah gelap.
“”””
            Aku berada di ruangan yang di dominasi oleh warna hijau tua dan putih, UKS sekolah. Seseorang berseragam SMA tengah duduk di sebelah kananku, satu kakak pendamping dan serang kakak kelas pemegang permainan MOS kali ini, Joe.
            “Kamu pingsan betulan atau hanya pura-pura?” Tanya Joe galak.
            “Sudahlah Joe, dia beneran pingsan kok” sahut Kak Windy. Seseorang yang tadi berada di samping kananku pergi, mungkin ia bising dengan suara gaduh yang di buat oleh Joe. MOS selesai pukul dua siang, aku pulang sendiri karena kakakku masih mengerjakan PR di warnet dekat sekolah. Aku tidak berani mengayuh sepeda anginku karena takut terjatuh di tengah jalan nanti, kepalaku masih pening. Tiba-tiba seseorang mendekatiku, kakak SMA tadi!, ia mensejajari langkahku.
            “Dimana kakakmu?”
            “Masih ngerjain tugas di warnet”
            “Mau di bonceng?” dia dengan suaranya yang datar menawariku. Aku mengangguk. Aku membonceng di belakangnya, sepeda anginku dituntunnya dengan tangan tangan kirinya dan tangan kanannya memegang kendali sepeda. Sesampainya di depan rumahku ia menurunkanku dan menyerahkan sepeda anginku.
            “Terima kasih kak” ia hanya tersenyum manis, hatiku tak keruan dibuatnya.
“”””
            MOS telah usai, tapi Joe tetap berexpresi padaku sama seperti saat ia mengorientasiku dan teman-teman baruku. Aku cuek saja dengan segala macam ucapannya, toh tidak ada gunanya aku menggubris omongan cowok macam Joe. Tapi, lama kelamaan kata-kata yang keluar dari mulut Joe semakin menjadi-jadi. Saat aku makan di kantin dengan Faiz, temanku, entah karena apa dia mengataiku dengan ucapannya yang pedas itu. Ku gebrak meja di depanku, ia terhenti makan seketika, saat itu ia makan satu meja denganku, ku siram es teh ku ke wajahnya.
            “Sekali lagi kau ulangi perbuatanmu itu,….”
            “Apa?” tanyaku. “ Aku tidak takut sama laki-laki seperti kamu, dasar cowok banci!” aku langsung pergi dari hadapannya dengan amarah memuncak, mampir sebentar untuk membayar dua mangkuk bakwan. Faiz mencoba menenangkanku, tak bisa, aku ingin sendiri. Aku duduk di bangku di depan taman kelasku, tiba-tiba bayang-bayang wajah teman kakakku itu hadir di depan mata,siapa dia sebenarnya?. Sebenarnya, mudah saja aku mendapatkan informasi tentang dia dari kakakku, tapi aku ingin mencari informasi tentangnya sendiri dengan fantasi yang berbeda.   
“”””
November 2005
            Aku mulai merasakan apa yang namanya apa masa pubertas itu sekarang, ya, sekarang. Sejak pukul sepuluh tadi hujan turun deras sekali. Pulang sekolah air menggenag sampai separuh lutut, ku lihat ia dan beberapa temannya mengatur lalu lintas di depan sekolah kami. Hatiku girang, gemas sekali melihatnya, ingin ku katakan padanya perasaan ini, tapi aku malu. Belakangan aku mengetahui sedikit identitasnya, Arfa Raffidian, lahir di Surabaya, 12 Juni 1989. Hanya itu yang ku ketahui tentangnya, tapi tiap-tiap huruf dari namanya telah memenuhi ruang di hatiku dan dalam buku diaryku.
“”””
Masa satu tahun di bangku kelas VII telah lewat, sekarang aku duduk di bangku kelas VIII SMP. Bunga-bunga di hatiku semakin merekah indah. Arfa duduk di kelas XII IPS 2, masih satu kelas dengan kakakku meski tidak sebangku. Berita paling bahagia bagiku adalah, ternyata Arfa satu kelompok dengan kakakku, dan teman-teman kakakku lebih senang belajar di rumah kami daripada di rumah teman-teman satu kelompk kakak yang lain. Setiap kali kakakku belajar kelompok aku selalu membuatkan minuman untuk mereka, hingga keakraban terjalin antara aku dan teman-teman kakakku. Tapi perasaan itu berbeda untuk Arfa, perasaan itu indah ku rasakan, Arfa… . Dilihat dari gaya bergaulnya yang supel beberapa hal lagi ku ketahui darinya, dia sangat mahir menulis kaligrafi, sepak bola dan tenis meja. Hm… Arfa, pangeranku.
“”””
            “Gedubrak!” aku terjatuh dari tempat tidurku.
            “Diar!!!, katanya mau ikut ke wisudaku” teriak kakakku dari lantai dasar.
Wisuda?, berarti hari ini Arfa juga wisuda. Aku bergegas mandi secepat kilat, tak ada persiapan sebelumnya, langsung saja ku comot hem kotak-kotak berwarna hijau kuning dari lemariku dan celana pensil hitamku. Ku ikat rambutku dengan kuncir kuda dan sedikit poni. Aku mematut diri di depan kaca,
            “Aku akan mendatangi wisuda Arfa” batinku.
            “Diar!!!” kakakku kembali berteriak. Aku segera turun ke bawah, kakakku sudah siap dengan jas hitamnya.
            “Kakak cakep deh!” ku cubit kedua pipi kakakku gemas






(dibuat oleh : Adikku Dewi Marisatul Hikmah)

0 komentar: