Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad
pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad
pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek
kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era
dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang.
Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya
terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja.
Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi
yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh
perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan,
psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya
adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara
pandang terhadap pendidikan, perubahan peran
orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar
mereka.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan
di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah
saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran
utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam
masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama
bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding
sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya
mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti
dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum
1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa
kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi
oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya,
sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi
minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar,
sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme
guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang
keilmuannya.
Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika.
Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik
secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum
sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan
menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu
menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas
(Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya
seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad
pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi
tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan
karena pengetahuan menjadi landasan utama
segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10
kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di
abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi,
(2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari
ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke
perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari
bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke
demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari
utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap
dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum,
manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode
pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar
di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke
jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3)
dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar,
(5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi
canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat
ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai
aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada
gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai
dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan
ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi
tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya
bangsanya.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998)
mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik
sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a)
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja
terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan
mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi;
(2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa,
pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi
mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan
kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas
penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan
karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan
pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai
intinya.
Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam
berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi
landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan
perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media
elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7)
Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam
menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam
bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata
bagi pendidikan di abad pengetahuan.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen
pendidikan yang modern dan profesional dengan
bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan
mampu mewujudkan peranannya secara efektif
dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar
mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan
harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan
keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan
guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang,
keimanan dan
ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin,
profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa
depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai
peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki
keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang
mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang
memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan
mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma:
(1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus
penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid
yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang
menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus
pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan
buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang
terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada
kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut
nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan
yang bersifat kompetitif.
Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi
oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad
pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri.
Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada
abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan
belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan
dapat dilihat pada Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas
fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan
diri sendiri.
Berdasarkan pembagian di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa;
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta,
drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di
abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan
permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2 Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena
bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi
cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan
praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu
kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di
Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan
pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya
menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan
metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran,
metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang
dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai
dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar
berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan
difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia
nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas
dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran
tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern
yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar
karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa
memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting
yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa
yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita
dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah
pelaksanaan dan hasilnya.
Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini
memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi
perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice
guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran
yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk
merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal
itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru
Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku
yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad
pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai
tantangan ini.
Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada
penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen
beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan
bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan
teknologi dan
manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari
seorang teknisi
bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki
suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda
dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika
Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan
Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar standar
pengembangan profesi guru yaitu;
(1) Standar pengembangan profesi
A adalah pengembangan profesi
untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui
perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini
melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan
menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam; (2) Standar
pengembangan profesi B adalah
pengembangan profesi untuk guru
sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan,
dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru
yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana
mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari
konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada
tahap-tahap pengembangan, profesi
yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu
siswa belajar; (3) Standar pengembangan profesi
C adalah pengembangan profesi
untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk
pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen
untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru
berkesempatan terus untuk belajar; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan)
dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan
kesempatan-kesempatan pengembangan profesi
terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional
guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya
Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru
sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam
jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada
siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai
cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya
dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional
dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat
sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan
di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi
berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu
praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses
yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya
diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan
profesional berkesinambungan, profesi
guru merupakan profesi yang
berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek
pendidikan. Kekerdilan profesi
guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan
in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang
lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu
adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru
Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3)
keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat
aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan
ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang
profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan
tinggi dengan pembinaan
SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3)
program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu
pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu
manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan
peran serta masyarakat
berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat
pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan
program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional
yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu
terpenuhi akan mengubah peran
guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan
dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional
akan mengubah peran guru yang
semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan
suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu
sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change
agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam
Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara
global, karena guru memiliki tugas dan peran
bukan
hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap
dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah
membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai
tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta
didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial,
emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus
mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus
mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai
profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi
pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik
institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun
masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi
yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat
bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang
baik.
Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang
guru. Jadi guru memiliki peran
utama dalam sistem
pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan
dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya
namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka
cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu
diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik
menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak
memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui
keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah
memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola
belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP
maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua
masalah yang memiliki mutual korelasi yang
pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa
pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi
keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya.
Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2)
profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya
profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang
tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang
bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2)
belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara
maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai
pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di
lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi
keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena
guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di
perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab
rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni
profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma
dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap
ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan
pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan
pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan
pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5)
masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi
yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama
untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan
profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan
rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif
untuk meningkatkan profesi guru.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme
guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan
yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai
perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III
bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun
demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara
entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang
dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah
dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua)
melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah
melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah
propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan
Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di
Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan
Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi
pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan
mengajarnya (Supriadi, 1998). Profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan
prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari
organisasi profesi dan tempat
kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi
keguruan, penegakan kode etik profesi,
sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama
menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan
tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang
membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan
masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas,
faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi
dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program
apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk
mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi
atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat
tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk
meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran
gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi
pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi
ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah
sehingga kini dampaknya terasa, profesi
guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi
lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
Kesimpulan dan Saran
Memperhatikan peran
guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan
pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi
guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut
adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi
oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen
beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan.
Guru yang profesional
pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan
yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun
pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang
terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab
bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam
hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Daftar Rujukan
Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara
Pembaharuan. (Online) (http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd,
diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana
Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium
Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26
Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional
Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor
Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era
Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000.
Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The
Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational
Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free
Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The
Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT);
5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang
Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata):
Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa
Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. SuaraPembaharuan. (Online)
(http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001).
Hlm. 1-2.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher
Sains. Hlm. 59-70
Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru
Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah
Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales.
Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001.
(Online) (http://members. aol.com/PTRFWEB/journal1040.html,
diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional
Development Strategies: Proffessional Learning Experiences
Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher.
September 1998. hlm. 46-49).
Sumargi. 1996. Profesi
Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru.
Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi
Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi.
Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar