Awal kelas satu
SMP adalah masa percobaan bagi masa remajaku, bagaimana tidak?, baru kali ini
aku mengikuti apa itu yang namanya masa orientasi siswa. Sekolahku satu yayasan
dengan kakakku, di yayasan bunda harapan ini tedapat sekolah mulai jenjang
kanak-kanak hingga SMA. Tapi aku masuk dalam yayasan ini mulai SMP, saat SD aku
bersekolah di sekolahan yang lebih dekat dengan rumahku. Aku masih tidak tahu
tentang seluk beluk MOS yang di mainkan peranannya oleh kakak-kakak kelas. Aku
berusaha jujur saat MOS agar tidak terkena hukuman, eh..aku malah di hukum
gara-gara satu atributku tertinggal di rumah. Aku di hukum berlari memutari
lapangan yang besarnya dua kali lapangan sepak bola dengan berputar 3 kali,
lapangan sekolah itu memanjang mulai depan kelas VII A sampai depan kelas XII
IPS 2. Ku atur nafasku agar nanti tidak terlalu payah, baru ¾ lapangan pada
putaran pertama aku sudah ngos-ngosan, ku pegangi kedua lututku, kepalaku
pening. Hampir saja kepalaku menyentuh lantai lapangan, seseorang tiba-tiba
menangkapku. Semua tiba-tiba berubah gelap.
“”””
Aku berada di ruangan yang di
dominasi oleh warna hijau tua dan putih, UKS sekolah. Seseorang berseragam SMA
tengah duduk di sebelah kananku, satu kakak pendamping dan serang kakak kelas
pemegang permainan MOS kali ini, Joe.
“Kamu pingsan betulan atau hanya
pura-pura?” Tanya Joe galak.
“Sudahlah Joe, dia beneran pingsan
kok” sahut Kak Windy. Seseorang yang tadi berada di samping kananku pergi,
mungkin ia bising dengan suara gaduh yang di buat oleh Joe. MOS selesai pukul
dua siang, aku pulang sendiri karena kakakku masih mengerjakan PR di warnet
dekat sekolah. Aku tidak berani mengayuh sepeda anginku karena takut terjatuh
di tengah jalan nanti, kepalaku masih pening. Tiba-tiba seseorang mendekatiku,
kakak SMA tadi!, ia mensejajari langkahku.
“Dimana kakakmu?”
“Masih ngerjain tugas di warnet”
“Mau di bonceng?” dia dengan
suaranya yang datar menawariku. Aku mengangguk. Aku membonceng di belakangnya,
sepeda anginku dituntunnya dengan tangan tangan kirinya dan tangan kanannya
memegang kendali sepeda. Sesampainya di depan rumahku ia menurunkanku dan
menyerahkan sepeda anginku.
“Terima kasih kak” ia hanya
tersenyum manis, hatiku tak keruan dibuatnya.
“”””
MOS telah usai, tapi Joe tetap
berexpresi padaku sama seperti saat ia mengorientasiku dan teman-teman baruku.
Aku cuek saja dengan segala macam ucapannya, toh tidak ada gunanya aku
menggubris omongan cowok macam Joe. Tapi, lama kelamaan kata-kata yang keluar
dari mulut Joe semakin menjadi-jadi. Saat aku makan di kantin dengan Faiz,
temanku, entah karena apa dia mengataiku dengan ucapannya yang pedas itu. Ku
gebrak meja di depanku, ia terhenti makan seketika, saat itu ia makan satu meja
denganku, ku siram es teh ku ke wajahnya.
“Sekali lagi kau ulangi perbuatanmu
itu,….”
“Apa?” tanyaku. “ Aku tidak takut
sama laki-laki seperti kamu, dasar cowok banci!” aku langsung pergi dari
hadapannya dengan amarah memuncak, mampir sebentar untuk membayar dua mangkuk
bakwan. Faiz mencoba menenangkanku, tak bisa, aku ingin sendiri. Aku duduk di
bangku di depan taman kelasku, tiba-tiba bayang-bayang wajah teman kakakku itu
hadir di depan mata,siapa dia sebenarnya?. Sebenarnya, mudah saja aku
mendapatkan informasi tentang dia dari kakakku, tapi aku ingin mencari informasi
tentangnya sendiri dengan fantasi yang berbeda.
“”””
November 2005
Aku mulai merasakan apa yang namanya
apa masa pubertas itu sekarang, ya, sekarang. Sejak pukul sepuluh tadi hujan
turun deras sekali. Pulang sekolah air menggenag sampai separuh lutut, ku lihat
ia dan beberapa temannya mengatur lalu lintas di depan sekolah kami. Hatiku
girang, gemas sekali melihatnya, ingin ku katakan padanya perasaan ini, tapi
aku malu. Belakangan aku mengetahui sedikit identitasnya, Arfa Raffidian, lahir
di Surabaya, 12 Juni 1989. Hanya itu yang ku ketahui tentangnya, tapi tiap-tiap
huruf dari namanya telah memenuhi ruang di hatiku dan dalam buku diaryku.
“”””
Masa satu tahun
di bangku kelas VII telah lewat, sekarang aku duduk di bangku kelas VIII SMP.
Bunga-bunga di hatiku semakin merekah indah. Arfa duduk di kelas XII IPS 2,
masih satu kelas dengan kakakku meski tidak sebangku. Berita paling bahagia
bagiku adalah, ternyata Arfa satu kelompok dengan kakakku, dan teman-teman
kakakku lebih senang belajar di rumah kami daripada di rumah teman-teman satu
kelompk kakak yang lain. Setiap kali kakakku belajar kelompok aku selalu
membuatkan minuman untuk mereka, hingga keakraban terjalin antara aku dan
teman-teman kakakku. Tapi perasaan itu berbeda untuk Arfa, perasaan itu indah
ku rasakan, Arfa… . Dilihat dari gaya bergaulnya yang supel beberapa hal lagi
ku ketahui darinya, dia sangat mahir menulis kaligrafi, sepak bola dan tenis
meja. Hm… Arfa, pangeranku.
“”””
“Gedubrak!” aku terjatuh dari tempat
tidurku.
“Diar!!!, katanya mau ikut ke
wisudaku” teriak kakakku dari lantai dasar.
Wisuda?, berarti
hari ini Arfa juga wisuda. Aku bergegas mandi secepat kilat, tak ada persiapan
sebelumnya, langsung saja ku comot hem kotak-kotak berwarna hijau kuning dari
lemariku dan celana pensil hitamku. Ku ikat rambutku dengan kuncir kuda dan
sedikit poni. Aku mematut diri di depan kaca,
“Aku akan mendatangi wisuda Arfa”
batinku.
“Diar!!!” kakakku kembali berteriak.
Aku segera turun ke bawah, kakakku sudah siap dengan jas hitamnya.
“Kakak cakep deh!” ku cubit kedua
pipi kakakku gemas
(dibuat oleh : Adikku Dewi Marisatul Hikmah)
0 komentar:
Posting Komentar